Tuesday 18 March 2014

Apa itu mimpi?

Kau percaya mimpi?

Pertanyaan itu muncul saat aku membuka tulisan seseorang yang ku kenal. Membaca satu halaman penuh tulisannya. Tulisan mengenai mimpinya yang tak pernah disangka menjadi nyata. Indahnya.

Aku percaya dengan mimpi. Tapi sayangnya, aku telah lama tak bermimpi. Bahkan mungkin saja aku lupa bagaimana caranya bermimpi.

Dulu aku seorang pemimpi. Percayalah. Aku bukan orang yang serealistis ini. Hidupku dulu dipenuhi dengan mimpi. Aku ingin menjadi penulis. Aku ingin bisa menyelesaikan tulisanku. Aku ingin membuat film. Aku ingin karyaku dikenal dan dilihat orang. Lalu mereka memandangku dengan bangganya.

Tapi, sudah beberapa tahun terakhir aku lupa caranya bermimpi. Aku terlalu takut untuk bermimpi. Setiap kali aku bermimpi, aku dibatasi dengan harapan orang lain yang bertentangan dengan mimpiku. Aku pernah bermimpi menjadi psikolog anak. Bermain dengan anak-anak dan memahami kehidupan mereka. Mencoba mengenal mereka jauh lebih dalam. Bekerja di lingkup yang menyenangkan dan yang aku sukai. Hanya saja, semua itu berhenti hanya sebatas impian. Aku sudah melupakannya jauh semenjak ibu memintaku untuk mengambil jurusan psikologi industri dan organisasi. Bukan suatu hal yang buruk memang. Hanya saja, pernahkah kau membayangkan akan hidup di dunia yang tidak kau sukai? Berapa besar usaha yang kau butuhkan untuk akhirnya bisa terus bertahan di sana? Berapa mimpi yang kau korbankan?

Sayangnya, aku tak memiliki kekuatan untuk bisa mengambil risiko. Setiap kali kata itu muncul, nyaliku langsung menciut seperti balon udara yang terkena hawa dingin di malam hari. Aku tak pernah berani mengambil risiko. Aku tak berani menghadapi kenyataan bahwa nantinya aku salah melangkah. Aku telah terbiasa dipilihkan. Aku terbiasa berjalan di jalan setapak. Bukan jalanan tanah yang lembab dan licin. Seharusnya aku belajar dari hal ini. Sejak dulu bukankah aku selalu menurut? Bukan lantas menjadi anak penurut adalah hal yang buruk, hanya saja, sesekali setidaknya aku berani menyampaikan pendapatku.

Sebenarnya, aku pernah melakukannya atau mungkin baru sampai hendak melakukannya. Tapi lantas tidak bisa tersampaikan karena aku terlalu takut pada ibuku. Aku takut melukainya. Aku takut dibenci olehnya. Aku takut menjadi anak yang tidak mendengarkan perkataan orangtuanya. Aku tak memiliki kekuatan apa-apa di rumah. Kekuatan ibu terlalu besar untuk ku sandingkan. Itu yang lantas membuat aku berhenti. Pengalaman yang traumatispun aku rasakan saat aku mencoba menyampaikan pendapatku. Aku dibentak. Aku dibencinya. Itu yang tak aku suka.

Akhirnya aku hanya terbiasa menuliskan mimpi-mimpiku. Menuliskannya dalam buku harian. Tapi lama kelamaan aku tak lagi punya waktu untuk menuliskan mimpi-mimpiku. Hingga akhirnya aku lupa caranya bermimpi.

Bisakah aku kembali bermimpi? Bisakah aku kembali belajar mengenai mimpi? Belajar untuk menggapai mimpiku entah seberapa banyak rintangan yang akan datang. Aku harus tetap bermimpi.

Bismillahirahmanirahim.

_RedRose

No comments:

Post a Comment

Terimakasih karena telah menjadi saksi bisu...