ini postingan Kamis, 19 Januari lalu
Ini sudah hari kedua pasca operasi yang ibu lakukan. Kemarin semuanya berjalan dengan lancar. Syukurlah. Meski sepanyang operasi aku hanya bisa menangis.
 Ini sudah hari kedua pasca operasi yang ibu lakukan. Kemarin semuanya berjalan dengan lancar. Syukurlah. Meski sepanyang operasi aku hanya bisa menangis.
 Jujur saja... Ketika ibu memasuki ruang observasi, aku merasa seperti  ada di dunia lain yang tak aku sukai. Banyak orang di sana. Banyak orang  yang menemani ibu, mereka tertawa, bercanda dan berusaha menenangkan  ibu. Ibu pun nampak sangat tenang meski aku tahu di hatinya ada perasaan  takut. 
  Kemarin, bukan hanya ibu saja yang operasi. Ada sekitar 5 pasien juga  yang hari itu operasi, aku kurang tahu apa penyakitnya. Lagi pula saat  itu aku tak peduli orang lain. Hal yang aku pedulikan hanya ibuku dan  bagaimana caraku menahan air mata yang sejak tadi aku tahan. Ah...  Hidungku benar benar memerah dan terasa panas saat itu.
  Beberapa saat kemudian ibu diminta masuk ke ruang operasi. Kami diminta  berdoa bersama dahulu sebelum ibu menjalani operasi. Saat itu pula  tangisanku tumpah. Aku sudah tak bisa tahan lagi. Ibu akhirnya menangis  karena melihatku menangis. Ibu bilang jangan menangis dan ia juga bilang  kalau ia akan baik-baik saja. Aku tahu, aku tahu ibu pasti akan berkata  seperti itu. Aku sangat tahu bahwa ibu pasti akan baik-baik saja. Ini  bukan operasi yang besar sehingga kekhawatiranku memang seharusnya tak  berlebihan. Namun bagaimanapun juga aku wanita. Aku wanita. Aku tak  sanggup kalau harus menahan perasaanku seperti itu. Terlebih lagi aku  sangat menyayangi ibu. Ya ibu... aku sangat menyayangimu. Sangat sayang.
  Sore itu sekitar pukul 5 lebih ibu mulai masuk ruang operasi.  Selanjutnya sekitar setengah jam kemudian ibu keluar ruang operasi namun  dalam keadaan belum sadar. Pikiranku sangat kacau saat aku melihat ibu  terbaring tak sadarkan diri dengan bantuan pernapasan melalui selang  oksigen. Aku tetap sibuk menyeka air mata yang hampir menetes dari  mataku. Sedangkan ayah memegangi tangan ibu dan berusaha menyadarkannya.  Aku tak berani menyentuh ibu. Jangankan untuk menyentuhnya, untuk  melihatnya saja aku takut. Kalau bisa aku ingin menonaktifkan  penglihatanku sesaat. Sampai akhirnya adzan maghrib berkumanndang. Aku  memutuskan untuk sholat dahulu. Aku dan kakakku segera sholat di kamar  perawatan, ayah memutuskan untuk sholat di masjid.
  Seusai aku sholat aku segera mendoakan ibui. Mengangkat kedua tanganku,  menengadah dan meminta kepada Allah. Saat itu pula aku dengar ada yang  membuka pintu kamar. Aku pikir, mungkin ibu sudah sadar. Ternyata benar.  Saat aku ke ruangan observasi, ibu sudah membuka mata. Aku memegang  tangannya. Mataku kembali mengeluarkan air mata. Aku berusaha  menyekanya. Aku mendengar ibu mengatakan dengan suaranya yang masih  bergetar dan sangat pelan. "Jangan menangis, ibu tidak apa-apa." Saat  itu aku hanya menganggukkan kepalaku namun tetap saja aku menangis.
  Saat ibu sudah dikembalikan ke ruang perawatan, keadaanku menjadi lebih  tenang dari sebelumnya. Jujur saja saat itu mataku sangat pedih,  hidungku panas, kakiku pegal karena sudah berdiri lebih dari 1 jam.  Pinggangku pun sakit sekali. Badanku semuanya pegal dan rasanya sangat  remuk. Semalaman aku tidak bisa tidur. Ibu masih belum bisa tidur, ibu  batuk-batuk parah. Aku berusaha agar tellingaku tetap bisa terjaga meski  mataku sudah terpejam. Aku tidur di atas sofa dan menghadap ke arah  ibu. Acap kali ibu batuk aku bangun menanyakan apa ibu butuh minum atau  tidak. Aku berusaha tetap terjaga meski yang lainnya sudah tertidur.  Harus ada yang menemaninya. Harus ada yang mengawasi ibu. Selelah apapun  aku harus tetap terjaga.
  Hingga pagi pun tiba. Hari itu aku merasa waktu berjalan begitu cepat.  24 jam terasa hanya sekitar 6 jam. Padahal pagi ini aku harus ada  seminar hingga pukul setengah lima sore. Aku harus sanggup bangun selama  seminar berlangsung. Sudah begitu aku terburu-buru berangkat dan minum  di kamarku habis pula. Pada akhirnya aku sarapan roti di jalan tanpa  minum. Untung ketika sampai temanku membawa minum. Sebenarnya aku mau  membeli minuman di mini market. Tapi sepagi itu belum ada mini market  yang buka. Ketika menemui mini market 24 jam malah terlewat. Seperti  krisis air saja.
  Malam ini aku tidak menemani ibu di rumah sakit. Hanya ada kakakku di  sana. Padahal aku ingin tetap di sana. Tapi rasanya tak mungkin. Besok  aku harus mengumpulkan laporan penanggung jawaban. Hal yang aku takutkan  adalah kakakku tak bisa menjaga ibu dengan baik. Aku bukan orang yang  mudah percaya dengan orang lain. Apa lagi orang seperti kakakku yang  sudah aku kenal. Semalam saja ia tidur dengan nyenyaknya padahal ibu  terbatuk-batuk. Semoga ibu baik-baik saja di sana.
 
No comments:
Post a Comment
Terimakasih karena telah menjadi saksi bisu...