Thursday 22 May 2014

Aku Anak tapi Bukan Anak-anak



Karena tidak tahu harus bercerita dimana dan dengan siapa lagi, aku berakhir di sini. Di blog ini. Biasanya mungkin aku sudah meraung-raung melalui timeline LINE atau twitter mungkin. Ah... atau mungkin facebook. Tapi, sayangnya terlalu banyak orang di sana. Apalagi ada kakak ku yang senantiasa memantau isi timelineku. Bukan menjadi masalah jika dia hanya memantaunya. Yang menjadi permasalahan adalah ketika ia menyampaikan isinya kepada ibu. Apalagi kalau sudah menduga bahwa timeline ku ada hubungannya dengan orang rumah.
Saat aku sedang update status atau menulis apapun di timeline, jujur saja aku hanya ingin diketahui. Hanya ingin menyampaikan pendapatku saja tanpa perlu dikomentari orang lain. Kalau perlu, abaikan saja timelineku. Kalau kau tahu itu tentang apa, abaikan saja. Tidak perlu juga kau umbar dengan orang lain. Ini lingkup privasi ku. Bisakah kau tidak mengganggunya?

Baiklah. Mulai dengan pembahasan apa yang mau aku ceritakan. Akhir-akhir ini aku sedang dipusingkan dengan MAGANG! Ah...istilah yang mungkin jadi bahan pembicaraan di semester ini oleh para mahasiswa. Awal cerita bermulai ketika ibu mengajukan dirinya untuk membantuku mencari tempat magang. Ia berkata ia sudah menanyakan kepada beberapa temannya mengenai perusahaan. Tapi sepertinya masih tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Apakah benar ditanyakan atau apakah benar aku akan dimudahkan?

Menanti tiada kabar. Setelah beberapa lama aku tidak mendapat kabar, aku menanyakan terkait kenalan ibuku yang ada di lingkup rumah sakit. Aku berniat ingin magang di pusat rehabilitasi narkoba. Karenanya aku menanyakan hal itu pada ibu karena ia kemungkinan memiliki kenalan. Benar saja, setelah melalui proses panjang bertanya-tanya tentang magang di sana, akhirnya ibu mendapat info mengenai magang di sana. Bahkan ibu kian memberikan informasi seolah memudahkan dan menyetujui jalanku.

Setelah mendapat akses itu aku segera meminta surat keterangan dari kampus sebagai pengantar magang. Sungguh sayang oh sayang. Surat di kampus lama sekali keluarnya. Sesulit inikah sistem birokrasi di kampus?

Masalah datang. Hari itu sabtu malam saat dalam keadaan lelah yang memuncak aku sampai di rumah. belum sempat mengatur napas dengan baik, aku sudah di ajak bicara serius mengenai tempat magang. Jreng...tiba-tiba saja ibu membahas mengenai ketidak setujuannya akan tempat magang yang ku tuju. Permasalahannya masih serupa dengan kasus lainnya yang serupa terjadi padaku. Ibu mengatakan bahwa daerahnya jauh dan ia berkata bahwa aku tidak perlu ikut-ikutan teman saat memilih tempat magang, Ia bilang orang lain mungkin sudah mandiri dan bisa menjalani segalanya sendiri termasuk pulang dan pergi kantor dengan kendaraan umum. Sedang aku katanya tidak bisa apa-apa.

Rasanya sakit hati. Aku begini bukankah karenanya juga? Ingatkah bagaimana ia membuntuti saya bersama ayah dari belakang mobil angkutan kota tempat aku dan teman. Saat itu aku malu. Aku benar-benar diperlakukan seperti anak-anak yang jelas tidak bisa apa-apa. Sejak dulu hanya doktrin negatif yang muncul di pikiranku terkait dunia luar. Dunia luar itu berbahaya dan blablabla...
Hanya ketakutan yang sesungguhnya tidak terbukti apapun. Menyebalkannya hal ini terbawa hingga aku dewasa seperti sekarang ini. persis dengannya. Aku mengembangkan ketakutan yang kosong itu. aku tidak berani menaiki angkutan umum karena tiap kali aku menaikinya ibu selalu berkomentar ini itu, tidak juga berani pergi kesana dan kemari sendirian. Aku tidak bisa pulang malam karena baru maghrib saja ponselku sudah ramai karena suruhan untuk segera pulang.

Setelah masalah itu selesai, datang masalah baru yang sungguh menyebalkan. Aku sampai bingung mau cerita apa lagi sebab ada banyak yang sesungguhnya ingin aku sampaikan tapi sangat sulit dituliskan. Intinya malam ini aku kembali dibentak olehnya. Nada suara yang tinggi itu membuat aku semakin segan. Aku semakin menyesal meminta bantuannya. Kalau tahu aka begini aku tidak meminta bantuannya. Sungguh aku menyesal. Menyesal meminta bantuan pada orangtuaku sendiri.