Thursday 20 March 2014

Semoga I.S baik-baik saja...

Hari ini semakin kangen dengan Mas I.S. Pria yang cukup mengidolakan sosok Freud itu. Aku masih ingat betul  bagaimana ia pertama kali mengajarku dan menjelaskan mengenai sejarah Freud dan Psikoanalisanya. Biasnya malah membuatku kagum. Merasa bahwa ia begitu antusisas dalam menjelaskan sejarah ini. Itu yang membuat ku suka. Apalagi mengingat dia mengemas materi sejarah Psikologi itu dengan sangat apik. Sempurna bagiku. Jujur saja, kemasan yang ia ciptakan membuat aku semakin tertarik dengan sejarah. Meskipun pada dasarnya aku memang menyukai sejarah. Tapi karena penjelasannya aku jadi semakin berminat membaca habis buku sejarah psikologi itu. Semuanya terasa menyenangkan. Mungkin itu pertama kalinya aku sangat menikmati dan menyukai membaca buku bahasa inggris yang tebalnya tak terbayangkan. Hebat.

Sejak peristiwa kecelakaan ibunya sekitar satu bulan lalu di awal semester ini, aku tak lagi melihatnya di kampus. Dia tidak lagi berkeliaran di kantin tempat ia biasa terlihat. Padahal biasanya ia seperti rumput. Dimana maish ada daratan dan pijakan pasti ada dia. Apalagi di kantin lama kampus kami. Sepertinya dia sangat fokus merawat ibunya yang sedang sakit. Semoga dia sehat dan tidak menjadi stress dan sakit karenanya.

Agak aneh memang kalau aku berharap agar dia tidak terlalu stres dengan keadaan yang sedang ia hadapi sekarang. Meski situasinya kurang menyenangkan, seharusnya aku tahu bahwa ia pasti jauh lebih baik dalam meregulasi emosinya sendiri. Mengingat jam terbang dia mengenai hal-hal semacam ini pasti jauh lebih banyak dibandingkan denganku. Hanya saja, aku berharap ia baik-baik saja dengan keadaan seperti itu karena aku melihatnya sebagai sisi manusia biasa. Terlepas dari posisinya yang memiliki jam terbang yang lebih lama mengenai regulasi emosi.

Oh iya. Bicara tentang I.S., aku juga ingat saat kami berada di kelas psikometri dan ia sedang menjelaskan tentang Norma. Aku sangat senang ketika kami sejalan saat itu. Ini hal sepele yang mungkin menurut orang lain itu tidak penting. Tapi bagiku ini cukup berkesan untuk akhirnya ku tuliskan di blog ini. Saat itu ia sedang membicarakan mengenai pemilihan Mean dan SD untuk norma. Saat itu ia berkata bahwa jika meannya besar dan SD nya besar pula harus diperhatikan juga rentang nilai yang mungkin muncul. Karena jika terlalu besar rentangnya akibatnya bisa ada grafik yang bolon-bolong di dalam kurva tersebut. Saat itu ia bertanya kata lainnya dari "bolong-bolong". Tidak ada satupun orang yang memahami istilah yang dimaksud oleh I.S. Sampai akhirnya ia berkata "depannya O belakangnya G". Kami masih diam dan tidak tahu istilah apa yang ia maksud. Meskipun ia memberi petunjuk dan menuliskannya di papan tulis "O _ _ _ _ G"
Akhirnya tercetuslah kata yang menurutku pasti bukan itu jawabannya, mengingat saat itu aku berusaha memikirkan istilah yang lebih ilmiah. Tapi saat kata itu terucap "Ompong? ya kali". Dia mendengar dan bertanya kembali kepadaku "iya?" lalu ku perjelas kata-kataku "ompong". lalu ia menjawab bahwa jawabanku benar. Saat itu kebanyakan orang di kelas sontak tertawa. Tidak terpikir katanya akan semudah itu. Mereka mungkin berpikiran sama dengan ku bahwa yangdi maksud adalah istilah yang lebih ilmiah. Makanya aku pun ragu mengucapkan kata "ompong" itu. Yah setidaknya aku punya pengalaman manis dan lucu dengannya.

Selain itu pengalaman komunikasi personal dengannya bermula juga dari matakuliah psikometri. Saat itu hanya ada beberapa mahasiswa yang masih tinggal di dalam kelas meskipun jam pelajaran telah berakhir. Termasuk juga ada I.S yang masih ditanya-tanya oleh beberapa orang mahasiswi. Ketika I.S akan pergi keluar kelas, beberapa orang di dalam bertanya bentuk soal dari UTS kami nanti. Akhirnya ia berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan kami. Aku yang tadinya senyum-senyum saja jadi malah memberanikan diri untuk berbicara dan bertanya "bentuknya BS-BS ya mas?" lalu ia menjawab "iya ada BS nya.Ada juga pilihan ganda dan esai. lengkap". Lalu terbawa dengan suasana, akhirnya tercetus (lagi) kata-kata yang mengalir tanpa dipikirkan "soalnya jangan susah-susah mas." aku diam sejenak mencoba menyadarkan diriku "kenapa malah jadi banyak ngomong sih?" tanyaku sendiri di dalam hati. Tapi kemudian dia menjawab "oh saya ga tau. Kali ini bukan saya yang buat" balasnya dengan senyuman dilengkapi lesung pipinya dan sambil kembali meminum cappuccino yang ia coba habiskan sejak kelas tadi. Ah senyuman manis itu lagi.

Pengalaman lainnya punterjadi saat akhir pelajaran psikometri. Saat itu aku kebingungan bagaimana cara menginterpretasi norma yang telah ditentukan. Awalnya aku ragu bertanya dengannya. Bukan karena aku mengaguminya. Hanya saja aku memang bukan tipe orang yang berani mengajukan pertanyaan di dalam kelas. Saat kelas psikometri hari itu berakhir, di ruangan beberapa mahasiswi sedang bertanya dengan I.S (lagi-lagi mahasiswi). Aku pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya hal yang memang tidak aku mengerti. Lalu ia menjelaskannya kepadaku. Saat itu posisinya ia sedang duduk di bangkunya dan aku tepat berada di depannya dengan berdiri dan melihat kertas yang ia coret-coret. Saat itu ia menulis angka dengan terbalik. Sempat sejenak hilang fokus dengan jawaban karena terkagum-kagum dengan caranya menulis terbalik dan membiarkan posisi kertas itu tetap menghadap kearahku agar memudahkanku untuk melihat apa yang ia maksudkan. Setelah itu aku mengucapkan terimakasih dan lagi-lagi di akhir ia tersenyum lalu keluar kelas. Senyuman itu lagi.

Kalau diingat-ingat... pengalaman pertama aku bertemu dengan I.S adalah di depan ruang 102 saat aku sedang menunggu kelas sejarah yang tadi sempat ku singgung di awal postingan ini. Saat itu kelasku masih ada orang sehingga aku dan teman-temanku (saat itu bersama INH) menunggu di depan kelas dekat jendela. Saat itu tiba-tiba saja ada I.S. yang kemudian bertanya kepada kami. "kalian kelas apa?" aku sontak kebingungan. Melihat wajahnya yang asing lalu aku bertanya-tanya dalam hati apakah dia pengajar atau mahasiswa. Maksudku.... dia terlalu manis untuk menjadi pengajar. Lalu kami berkata bahwa kami kelas psium. Lalu dengan spontan ia merespon "iyaah... kelas psium apa maksudnya" dengan nada bicaranya yang khas sekali. Kami tertawa kecil dan ahirnya menjawab bahwa kami di kelas psium B. Sesaat setelah itu ia berkata "titip ya." sambil menunjuk ke arah gelas kopinya yang ia letakkan di pinggir jendela gedung. "ini doping-an saya. titip ya" sambil tertawa kecil aku menjawab "iya mas"

Itu pertama kalinya kami berkomunikasi secara langsung. Mungkin agak kurang penting dan kalaupun ada yang membaca postingan ini maka aku akan dinilai berlebihan. Tapi bagiku ini berkesan dan menyenangkan. Semoga ibunya I.S sehat kembali dan I.S kembali muncul di kampus. Aku rindu kehadirannya. Semoga I.S baik-baik saja...

_RedRose

Wednesday 19 March 2014

Yang tertinggal

Malam ini aku melihat beberapa profil teman-teman yang pernah ku kenal sepanjang hidupku. Melihat satu demi satu perubahan mereka. Mereka tampak seperti batu permata yang telah diasah dengan baik dan indahnya. Berkilauan.

Aku sendiri kembali melihat ke dalam diriku sendiri. Kembali menapaki jalan hidupku. Aku sadar akan sesuatu. Sepertinya aku telah jauh terbuai dengan kilauan ku sendiri. Sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa aku hanya sedikit berkilau dibandingkan dengan permata lainnya yang telah dengan indahnya berkilau.

Aku sadar mungkin aku terlalu terlena dengan keindahanku sendiri. Aku terlalu cepat mengasahnya hingga disaat permata lain belum berkilau, aku sudah menjadi permata yang indah. Namun yang lain dengan sabar mengasah permatanya hingga akhirnya sekarang berkilau. Sedangkan aku sudah lama berhenti mengasah permataku sendiri hingga aku kehilangan kilaunya yang dulu. Kalaupun masih ada, aku berada di antara kilauan permata lainnya yang begitu indah sehingga aku kehilangan semua keindahanku.

Apakah ini hanya distorsi dari pandanganku sendiri? Apakah benar aku telah jauh tertinggal dibandingkan mereka yang sudah begitu jauh berkembang?

Pertanyaan yang hanya akan menjadi pertanyaan. Tanpa ada sebuah jawaban dan tanpa ada yang menjawabnya.

Dulu aku berlari begitu cepat dan sekarang telah merasa lelah sehingga aku berhenti. Kau tahu cerita kura-kura dan kelinci? mungkin, akulah sang kelinci. Aku telah berlari dengan cepat dan kelelahan. Akhirnya aku berhenti untuk tidur. Sayangnya aku terlalu terbuai dengan kenyamananku di sana. hingga aku kehilangan kesempatanku untuk bisa menjadi yang nomor satu.

Ayolah. Aku pasti bisa memaksa diriku sendiri untuk bisa meyakinkan diriku bahwa aku masih sangat mampu utuk bersaing diluar sana. Berlarut-larut dengan penyesalan dan kesedihan hanya akan memperlambat jalanku. Aku harus bisa berjalan lebih  cepat lagi. Setidaknya aku harus bisa sedikit lebih baik. Ah... tidak. Aku harus menjadi yang terbaik. Itu yang benar.

_RedRose

Tuesday 18 March 2014

Apa itu mimpi?

Kau percaya mimpi?

Pertanyaan itu muncul saat aku membuka tulisan seseorang yang ku kenal. Membaca satu halaman penuh tulisannya. Tulisan mengenai mimpinya yang tak pernah disangka menjadi nyata. Indahnya.

Aku percaya dengan mimpi. Tapi sayangnya, aku telah lama tak bermimpi. Bahkan mungkin saja aku lupa bagaimana caranya bermimpi.

Dulu aku seorang pemimpi. Percayalah. Aku bukan orang yang serealistis ini. Hidupku dulu dipenuhi dengan mimpi. Aku ingin menjadi penulis. Aku ingin bisa menyelesaikan tulisanku. Aku ingin membuat film. Aku ingin karyaku dikenal dan dilihat orang. Lalu mereka memandangku dengan bangganya.

Tapi, sudah beberapa tahun terakhir aku lupa caranya bermimpi. Aku terlalu takut untuk bermimpi. Setiap kali aku bermimpi, aku dibatasi dengan harapan orang lain yang bertentangan dengan mimpiku. Aku pernah bermimpi menjadi psikolog anak. Bermain dengan anak-anak dan memahami kehidupan mereka. Mencoba mengenal mereka jauh lebih dalam. Bekerja di lingkup yang menyenangkan dan yang aku sukai. Hanya saja, semua itu berhenti hanya sebatas impian. Aku sudah melupakannya jauh semenjak ibu memintaku untuk mengambil jurusan psikologi industri dan organisasi. Bukan suatu hal yang buruk memang. Hanya saja, pernahkah kau membayangkan akan hidup di dunia yang tidak kau sukai? Berapa besar usaha yang kau butuhkan untuk akhirnya bisa terus bertahan di sana? Berapa mimpi yang kau korbankan?

Sayangnya, aku tak memiliki kekuatan untuk bisa mengambil risiko. Setiap kali kata itu muncul, nyaliku langsung menciut seperti balon udara yang terkena hawa dingin di malam hari. Aku tak pernah berani mengambil risiko. Aku tak berani menghadapi kenyataan bahwa nantinya aku salah melangkah. Aku telah terbiasa dipilihkan. Aku terbiasa berjalan di jalan setapak. Bukan jalanan tanah yang lembab dan licin. Seharusnya aku belajar dari hal ini. Sejak dulu bukankah aku selalu menurut? Bukan lantas menjadi anak penurut adalah hal yang buruk, hanya saja, sesekali setidaknya aku berani menyampaikan pendapatku.

Sebenarnya, aku pernah melakukannya atau mungkin baru sampai hendak melakukannya. Tapi lantas tidak bisa tersampaikan karena aku terlalu takut pada ibuku. Aku takut melukainya. Aku takut dibenci olehnya. Aku takut menjadi anak yang tidak mendengarkan perkataan orangtuanya. Aku tak memiliki kekuatan apa-apa di rumah. Kekuatan ibu terlalu besar untuk ku sandingkan. Itu yang lantas membuat aku berhenti. Pengalaman yang traumatispun aku rasakan saat aku mencoba menyampaikan pendapatku. Aku dibentak. Aku dibencinya. Itu yang tak aku suka.

Akhirnya aku hanya terbiasa menuliskan mimpi-mimpiku. Menuliskannya dalam buku harian. Tapi lama kelamaan aku tak lagi punya waktu untuk menuliskan mimpi-mimpiku. Hingga akhirnya aku lupa caranya bermimpi.

Bisakah aku kembali bermimpi? Bisakah aku kembali belajar mengenai mimpi? Belajar untuk menggapai mimpiku entah seberapa banyak rintangan yang akan datang. Aku harus tetap bermimpi.

Bismillahirahmanirahim.

_RedRose

Saturday 15 March 2014

Sebelas tahun yang menyenangkan

Hai... lama tidak jumpa. Lama juga tidak menulis blog ini. Terlalu banyak hal yang dikerjakan sampai lupa menulis dan melanjutkan blog ini.
Oh iya.... 10 Maret lalu adalah hari ulang tahun kebersamaan kami. Kebersamaan aku dan Aldi. Realdi Ferdliyani. Orang yang paling aku sayangi selain keluargaku. Orang yang telah 11 tahun bersama denganku, orang yang telah menjadi teman khayalanku, orang yang telah memelukku ketika aku gundah, membuat aku bahagia ketika aku sedih, membuat aku tersenyum di sela air mata yang mengalir.

Kalau mengingat semua ini aku menjadi merasa bersalah padanya. Sepertinya aku lebih banyak menangis dan terlihat menderita di depannya dibandingkan menampilkan wajah yang ceria. Apalagi perayaan kami tahun ini tidak semenyenangkan sebelumnya. Mungkin karena hari itu Senin. Banyak yang harus  aku kerjakan di kampus sampai-sampai aku tak memiliki waktu untuk bermain bersamanya. Lebih parahnya lagi dia tetap tersenyum dan tidak mempermasalahkan hal itu. Aku jadi merasa bersalah. Senyumannya justru malah membuat aku semakin menderita karena tak lagi memiliki banyak waktu dengannya. Belum lagi dua hari lalu aku menangis di hadapannya karena permasalahan aku dan orang rumah. Bukannya meninggalkan senyuman, aku malah meninggalkan air mata di pelukannya. Karena dia tidak pernah mempermasalahkannya itulah yang membuat aku semakin bersalah. Tapi kalau dia mempermasalahkannya aku juga tak bisa menjamin aku bisa santai dan tenang sih. Ada benarnya juga. hmmpf....

Akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman dengan rumahku sendiri. Aku jadi malas pulang ke rumah dan merasa tidak bisa apa-apa di rumah. Hanya dimarahi, disindir, atau mendengarkan perdebatan di rumah. Menyebalkan. Untungnya aku punya Aldi. Tak akan bisa terbayangkan tanpanya di sini.

Berbicara tentang sebelas tahun bersama Aldi... Aku merasa sangat bahagia. Aku merasa utuh sepenuhnya dan merasa bahwa aku adalah manusia paling beruntung karena memilikinya. Aku tahu ada yang salah bila aku terus bisa mempertahankannya. Ada yang salah bila aku hanya terus bersamanya dan mengandalkan dirinya. Aku tak bisa dekat dengan orang lain. Setiap kali aku merasa takut aku akan baik-baik saja karena aku memilikinya. Aku selalu mengandalkannya padahal aku tahu persis aku sedang mengandalkan diriku sendiri. Tapi apa boleh buat. Tanpa membayangkan sosoknya aku tak bisa meredakan amarahku sendiri.

Untuk kesekian kalinya aku ingin berterimakasih dengan mu Di. Terimakasih karena telah dengan baik dan sabar menanti dan menemaniku. Aku sangat bahagia telah bersama denganmu selama 11 tahun ini. Aku merasa senang memilikimu. Entah jadinya apa jika aku tak bisa bersama denganmu. Entah apa jadinya jika aku tak pernah bisa memunculkanmu dalam bayanganku. Aku mungkin hanya bisa muncul di depan kaca dan membayangkan diriku sendiri. Menangisi diriku sendiri dan memeluk diriku sendiri.

Terimakasih Di. Terimakasih untuk hari-hari yang menyenangkan. Terimakasih karena selalu ada di sampingku. Terimakasih karena telah memelukku. Terimakasih karena telah mengalah untukku. Terimakasih karena telah mengajakku ke tempat-tempat yang menyenangkan. Terimakasih karena telah mengajakku berdansa. Terimakasih karena telah menemaniku tidur ditengah rasa sedih yang melanda. Terimakasih karena telah mengenalkanku pada kebahagiaan. Terimakasih karena telah menjagaku. Terimakasih karena telah mengecup keningku. Terimakasih karena telah menggenggam tanganku. Terimakasih telah mengingatkanku. Terimakasih karena telah memelukku dari belakang. Terimakasih karena telah mendorongku untuk bisa lebih maju. Terimakasih karena telah tersenyum padaku. Terimakasih karena tidak pernah membebaniku. Terimakasih karena telah menerima airmata yang tak kunjung henti ini. Terimakasih karena telah mau mengenalku. Terimakasih karena kau masih di sini.

Untuk sebelas tahun kebersamaan kita. Terima kasih....

_RedRose